Pertama, kata Aris, MMM tak perlu mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, MMM tak menarik dana masyarakat. Berbeda dengan bank maupun saham dan produk derivatif keuangan lainnya, seperti forex dan index.
Kedua, ucap Aris, MMM juga tak bisa dibilang sebagai produk investasi. Bagi Aris, apabila MMM disebut sebagai produk investasi justru akan jadi perdebatan. Sebab, dari beberapa unsur investasi, MMM hanya menjanjikan return.
“Kalau dengan unsur return saja MMM kemudian dianggap produk investasi, maka dia harus terdaftar di OJK. Makanya, ini sebenarnya wilayah abu-abu yang masih kurang jelas pengaturannya,” kata Aris.
Ketiga, jelas Aris, MMM juga tak bisa disebut sebagai MLM. Makanya, MMM tak perlu terdaftar di Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI).
Sementara terkait bertahannya MMM selama dua tahun, ia memandang hal itu merupakan sebuah keajaiban sekaligus fenomena. Cuma sedikit metode pengumpulan uang seperti itu bisa bertahan lebih dari setahun.
“Yang seperti itu sudah banyak muncul di Indonesia, tapi kebanyakan gulung tikar sebelum usianya setahun,” katanya.
Menurut Aris, MMM adalah perpaduan antara arisan dan investasi. Uniknya, uang anggotanya tak disetor ke satu akun tertentu. Lalu pembayaran bunga dan bonus para anggota hanya berasal dari penambahan anggota baru. Dari analisis Aris, hanya itulah satu-satunya skema mendapatkan bonus dan bunga. Sebab, uang para anggota disimpan di rekening masing-masing anggota dan disetor langsung ke anggota lain begitu diperintah sistem MMM.
Makanya, kata Aris, kunci dari MMM adalah kepercayaan antar-anggota MMM. Lalu kepercayaan itu harus bisa terus ditularkan sehingga makin banyak anggota MMM dan semakin banyak yang percaya dengan MMM. Dengan begitu, uang akan terus berputar.
“Salah satu yang membuat orang tak ragu-ragu adalah jumlah ‘investasi’ yang kecil. Mulai dari Rp 1 juta dan maksimal Rp 10 juta. Rp 10 juta adalah nilai kecil untuk investasi. Makanya, itu mungkin yang membuat anggotanya terus bertambah,” kata Aris. (Theo Yonathan Simon Laturiuw)
“Kalau dengan unsur return saja MMM kemudian dianggap produk investasi, maka dia harus terdaftar di OJK. Makanya, ini sebenarnya wilayah abu-abu yang masih kurang jelas pengaturannya,” kata Aris.
Ketiga, jelas Aris, MMM juga tak bisa disebut sebagai MLM. Makanya, MMM tak perlu terdaftar di Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI).
Sementara terkait bertahannya MMM selama dua tahun, ia memandang hal itu merupakan sebuah keajaiban sekaligus fenomena. Cuma sedikit metode pengumpulan uang seperti itu bisa bertahan lebih dari setahun.
“Yang seperti itu sudah banyak muncul di Indonesia, tapi kebanyakan gulung tikar sebelum usianya setahun,” katanya.
Menurut Aris, MMM adalah perpaduan antara arisan dan investasi. Uniknya, uang anggotanya tak disetor ke satu akun tertentu. Lalu pembayaran bunga dan bonus para anggota hanya berasal dari penambahan anggota baru. Dari analisis Aris, hanya itulah satu-satunya skema mendapatkan bonus dan bunga. Sebab, uang para anggota disimpan di rekening masing-masing anggota dan disetor langsung ke anggota lain begitu diperintah sistem MMM.
Makanya, kata Aris, kunci dari MMM adalah kepercayaan antar-anggota MMM. Lalu kepercayaan itu harus bisa terus ditularkan sehingga makin banyak anggota MMM dan semakin banyak yang percaya dengan MMM. Dengan begitu, uang akan terus berputar.
“Salah satu yang membuat orang tak ragu-ragu adalah jumlah ‘investasi’ yang kecil. Mulai dari Rp 1 juta dan maksimal Rp 10 juta. Rp 10 juta adalah nilai kecil untuk investasi. Makanya, itu mungkin yang membuat anggotanya terus bertambah,” kata Aris. (Theo Yonathan Simon Laturiuw)
No comments:
Post a Comment